Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
BAB V. TANGGAPAN DAN BANTAHAN BAGI PARA PENENTANG AS-SUNNAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
D. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah.”
As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.”[1]
Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara resmi.
Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:
تَسْمَعُوْنَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ
“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.”[2]
Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi’in. Begitu selanjutnya, para Tabi’in yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.
Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H), datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah:
- Ibnu Juraij di Makkah
- Sa’id bin Arubah
- Al-Auza’i di Syam
- Sufyan ats-Tsauri di Kufah
- Imam Malik bin Anas di Madinah
- ‘Abdullah Ibnul Mubarak
- Hammad bin Salamah di Bashrah
- Husyaim
- Imam asy-Syafi’i
Mereka ini semuanya dari generasi Tabi’ut Tabi’in yang hidup pada zaman kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi’in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:
Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:
- Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, lahir th. 194 H – wafat th. 256 H)
- Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H – wafat th. 261 H)
Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if, bahkan ada pula yang maudhu’ (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :
- Musnad Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H)
- Shahih al-Bukhari (194 – 256 H)
- Shahih Muslim (204 – 261 H)
- Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)
- Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)
- Sunan Ibni Majah (209 – 273 H)
- Sunan an-Nasa-i (225 – 303 H)
Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:
- Shahih Ibnu Khuzaimah (223 – 311 H)
- Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jamush Shaghir, yang disusun oleh ath-Thabrani (260-340 H)
- Sunan ad-Daraquthni (306 – 385 H)
- Al-Mustadrak al-Hakim (321 – 405 H)
Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya. Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha’if dan palsu, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallaam.
Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sab’ah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha’if, kitab-kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:
- Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha’if Sunan at-Tirmidzi,
- Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha’if Sunan Abi Dawud,
- Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha’if Sunan an-Nasa-i,
- Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha’if Sunan Ibni Majah,
- Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha’if al-Adabul Mufrad,
- Shahih Mawariduzh Zham’an dan Dha’if-nya,
- Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha’if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.
Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dalam penulisan hadits dan pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-Sunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
E. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat
Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :
1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu’jamul Kabir dari jalan ‘Ali bin Sa’id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin ‘Abdillah dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa ‘illatnya :
a. Al-Wadhiin bin ‘Atha’ jelek hafalannya
b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima kalau ada mutabi’nya.”
c. Abi Hadhir tersebut lemah
2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi Dzi’bin, dari Sa’id bin Abi Sa’id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi’bin dari Sa’id al-Makburi, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu Hurairah.
Jadi ‘illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi’bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini termasuk mursal.
Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.
Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah dan syari’at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Qur-an, bukankah ba-nyak hukum syari’at yang ditetapkan dalam As-Sunnah?
Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka’at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala hukum mu’amalah dan ibadah?
Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, “Dapat kiranya kita mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kambing, unta, dan sapi? Adakah aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ke-tentuan fiqh lainnya?
Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma’ ulama orang tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa cukup shalat satu raka’at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.
Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya. Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma’ ummat Islam.
Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal nash-nashnya ada, mereka menurut ijma’ ulama termasuk orang fasik.
Atas kedua dasar itulah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib dijadikan pegangan[3].
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu? (Fat-hul Baary I/194) dan ad-Darimy (I/126).
[2] Hadits shahih riwayat Ahmad (I/321), Abu Dawud (no. 3659), al-Hakim (I/95) dan Ibnu Hibban (Shahih Mawariduzh Zham’an no. 65), dari jalan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
[3] Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I/214-215), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1756-pentadwinan-pengumpulanpembukuan-as-sunnah.html